Mereka yang Bermurung

SETELAH memasang ancak di dedahanan, Kakek mengajakku menyimpuk semak belukar yang telah mengering. Dari kejauhan semak belukar itu menyerupai bebukitan. Aku belum pernah melihat bukit yang sesungguhnya—ya, aku masih mempercayai ingatanku—kecuali pada sampul buku belajar mewarnai atau pelajaran menggambar di sekolah. Setelah selesai menyimpuk, Kakek kembali ke pondok dan aku diam-diam mendaki semak belukar yang menyerupai bebukitan itu. Tapi belum lagi puas aku mendaki, Kakek rupanya memperhatikanku sedari tadi. Dia kemudian menyuruhku berhenti. Dan aku berhenti. Sambil besedih hati, aku kembali ke pondok. Nenek bercerita begini: dia, kakekmu itu, seorang tentara. Tentara Soekarno yang selamat dari pembersihan. Entah, aku sendiri pun tiada tahu duduk perkaranya dan apa itu pembersihan. Mungkin, dibunuh maksudnya. Sebelum kami berdua memutuskan untuk menikah, Ayahku, datukmu, menyuruh dia berhenti menjadi tentara jika betul-betul hendak menikahiku. Dia pun memutuskan berhenti menjadi tentara secara tak terhormat. Dan, kami pun menikah dengan upacara seadanya.

Karena itulah, aku dan saudara-saudaraku sangat menghormati dan patuh pada Kakek, termasuk orang sekampung. Pernah sekali waktu, Kakek marah besar ketika sepupuku yang tertua bercerita dengan gegap-gempita tentang dirinya yang baru saja mendapatkan nilai Matematika tertinggi di kelasnya. Sontak, tanpa bicara sekata pun, Kakek meninggalkan acara makan malam keluarga itu. Kalau Kakek sudah berang, tak seorang pun berani membujuknya. Termasuk Nenek. Baginya, makan bukanlah soal mengisi perut dengan nasi, sayur-mayur, dan lauk-pauk belaka, namun bagaimana manusia menghormati pemberian alam. Tak boleh ada yang bicara, sekali pun tentang kabar baik. Apalagi menggerutu. Kalau makan saja masih suka bicara dan menggerutu, apalagi tidak, bisa-bisa engkau bunuh sanak-saudaramu. Bagaimana pun, manusia harus menghormati alam.

“Ikuti aku dan bawa galon minyak tanah itu!” suruh Kakek beberapa saat setibanya aku di pondok.

Kemudian kami berjalan menyusuri simpukan semak belukar yang menyerupai bebukitan itu. Setiap simpukan mesti kusiram minyak tanah, sesuai suruhan Kakek. Matahari yang memanggang kulit kini tertutup awan-gemawan. Tiba-tiba Kakek berdiri di atas sebuah batang kayu dan melihat seantero pehumaan*. Dari bawah, aku melihat Kakek seperti seorang tentara pengintai yang sedang gelanggang perang. “Sekarang mari kita bakar simpukan semak belukar ini!” Ucapnya memotong khayalanku. Kami pun membakar semua simpukan semak belukar itu. Terbakarlah semuanya, termasuk keinginanku mendaki bebukitan. Dan Kakek mengajakku kembali ke pondok. Dari pondok nampak kobaran api. Aku suka melihat kobaran api itu. Nampak gagah betul. Tapi aku masih penasaran kenapa Kakek naik ke atas sebuah batang kayu tadi, hanya saja aku keburu takut.

SEBELUM matahari meninggalkan senja, semak belukar yang menyerupai bebukitan itu ludes menjadi abu terhembus angin pula dan tunggul-tunggul. Aku menoleh ke Kakek. Tubuhnya masih nampak gagah meski umur merenggut sedikit demi sedikit tenaganya. Ketika dia mengetahui aku memperhatikannya, Kakek mendeham. Kalau manusia beradat dan berpengetahuan asli, alam takkan marah, katanya. Aku bingung apa maksudnya. Dan kukumpulkan keberanianku untuk bertanya.

“Kek?”

Sekali lagi, Kakek mendeham.

“Kenapa tadi, sebelum kita membakar semak belukar, Kakek naik ke atas sebatang kayu?”

“Membaca arah angin.”

“Untuk apa?”

“Agar tak jadi perkara dengan orang sekampung!”

“Oh. “Kalau manusia beradat dan berpengetahuan asli, alam takkan marah” apa maksudnya?”

Kali kedua, Kakek mendeham. Dia kemudian menatapku. Dan ketika bersitatap dengannya, aku seakan mewarisi keberaniannya.

“Apa di sekolah engkau tak diajarkan ilmu sejarah?”

Aku menggeleng.

“Bodoh! Pantas saja generasi sekarang ini menjadi generasi asing di tanahnya sendiri. Maksud ucapanku itu adalah ketika manusia memahami adat dan pengetahuan asli, maka takkan ada perkara dengan orang sekampung. Membakar milik sendiri, tiada masalah. Tapi jika engkau berlebih dan jauhkan bala engkau membakar milik orang lain, maka perkara akan menghancurkan segalanya: hubunganmu kepada orang lain dan alam! Mau?”

Kali kedua, aku menggeleng.

KAKEK MATI sebelum aku mengatakan bahwasanya hari ini orang sekampung tak lagi membakar semak belukar. Mereka memilih menyemprotnya dengan racun. Sebagian besar dari mereka dipaksa menjual pehumaan mereka ke orang-orang berduit dan orang kota yang berhasrat membuka perkebunan karet dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar dari mereka ini dibagi-bagi lagi: ada yang karena roda ekonominya payah, ada yang karena hendak membeli sebuah kuda besi, dan hendak menyekolahkan sang anak ke pulau sebrang. Keadaan demikian membuat orang sekampung menjadi tak acuh terhadap tetangganya, memikirkan perutnya masing-masing, dan tak pernah lagi membahas adat istiadat. Rusaknya roda ekonomi, kuda besi kreditan terbaru, pendidikan, dan teve perlahan-tapi-pasti menggusur kepribadian orang sekampung. Pada titik ini jadilah mereka sebagai pemurung yang menyedihkan.

Nyaris setiap bulan paramuda keluar-masuk penjara karena tertangkap basah mencuri kelapa sawit milik perusahaan, mencuri kabel demi tembaga, atau kepergok mengedarkan pil dan sabu. Hari-hari dilanda macam-macam kabar buruk. Tiada lain. Sementara jauh di kota, para politisi, penjaga adat, dan pengusaha merayakan kemenangan dengan pesta yang meriah di hotel-hotel berbintang. Dan sekali waktu, aku menangis. Tiga orang kawanku mati. Mereka mati berurutan dalam tiga hari. Kematian mereka bukan karena tuhan, namun satu kawan tertimbun pasir di pertambangan puya liar dan dua lainnya ditembak polisi karena tertangkap basah membakar pehumaan. Naas. Begitu murah nyawa seorang manusia di sini. Engkau bayangkan sendiri betapa menyedihkannya menjadi kami!

Demi keselamatanku, aku meninggalkan tanah kelahiran. Tak perlu kuceritakan panjang-lebar perjalananku dan bagaimana aku mendapatkan kesadaran untuk menuliskan semua ingatanku—perkara engkau percaya atau tidak dengan ingatanku, terserah padamu. Mulailah aku menulis sebuah cerita pendek yang bertajuk “Mereka yang Bermurung”. Terjadi semacam pertarungan dalam pikiranku: aku pun menjadi bagian dari penyebab keadaan sekarang ini. Dari pertarungan itu, hadirlah sosok Kakek, tiga kawanku yang mati, dan orang sekampung. Tapi aku bersikeras untuk menulis.

MEREKA YANG BERMURUNG yang menyedihkan menghantui pikiranku. Tak hanya itu, ketika aku hendak menyelesaikan cerita ini, mereka hadir di hadapanku dengan mandau-mandau beracun. Pertama, Kakek memperingatiku: jangan menjadi jalang di antara manusia. Kedua, ketiga kawanku berkata secara bersamaan: pulanglah! Dan ketiga, orang sekampung: engkau selamat-tapi-tidak dengan sanak-saudaramu! Mereka dibunuh dan ditanamkan di tanah kelahiranmu dan arwah mereka menjadi pokok-pokok sawit. Kemudian secara bersamaan mereka mengayunkan mandau-mandau beracun itu ke arahku.

Surabaya, 11 Maret 2019.

Pehumaan*/Ladang

Penulis: Muhammad Yasir (Penyair dan Penulis Cerita Pendek)

Tinggalkan komentar