PENGHIANATAN INTELEKTUAL

oleh Paman Hu

                KENYATAAN ITU lahir dari kekacauan kehidupan dan tatanan pemerintah, bukan dari Tuhan yang diyakin itu. Misalnya, orang-orang kelaparan karena tak memiliki duit untuk membeli beras. Atau anak-anak di perkampungan kaum miskin kota yang tak sekolah. Mana mungkin Tuhan mengurusi beras dan sekolah manusia, tetapi ada saja manusia-manusia yang mengatakan bahwa kenyataan itu disebabkan oleh Tuhan, mangkanya mereka menuntut pembebasan melalui doa-doa yang selalu mengiba atau sesekali manja.

                “Tidak. Kau keliru. Kau meluputkan, maaf saja, anak-anak yang lahir cacat fisik maupun mental. Apa itu bukan sebuah kenyataan yang, meski berat hati, harus diterima. Atau, kematian. Bagaimana seorang manusia menolak kematian? Dan, bukankah kematian itu adalah janji antara manusia—sejak dalam rahim ibunya—dan Tuhan?! Tak seorang pun bisa kabur dari perjanjian itu,” ucap seorang intelektual kepada kompolotannya di sebuah kedai kopi.

***

                Semua pasang mata di sebuah kedai kopi itu menuju ke komplotan para muda yang ribut mengadu pendapat mereka tentang apa itu kenyataan. Grego, seorang pemuda tampan, kritis, revolusioner, dan propagandis bangkit dari kursinya kemudian menghantam meja, hingga tumpahlah kopi dalam gelas-gelas itu. Wajahnya memerah dan semua urat di batang lehernya seperti keluar. Ia berkata, “Bagaimana, kalian bisa berpikir sedemikian keji, ‘ha? Beginikah hasil pemikiran kaum post-mo yang kalian berhalakan itu? Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekacauan kehidupan dan tatanan pemerintah Negara Dunia Tiga ini! Ini semua disebabkan kapitalisme neo-liberal yang dilancarkan Amerika Serikat setelah Soekarno memutuskan untuk non-blok dan membangun relasi ke China dan Uni Soviet. Tuhan hanya ada di hatimu masing-masing. Kalau kau, kau, dan kau meletakkan Tuhan sebagai penyebab dari kenyataan ini, maka kalian ini masuk ke dalam klasifikasi yang dibikin Gramsci; Intelektual Organik! Dan, kalau kebodohan semacam ini terus dirawat di jiwa-jiwa angkatan kita, revolusi berdarah tentu tidak akan terjadi.”

                Jobing; seorang penyair, kurus, agak jelek, dan paling dingin, mencoba menenangkan Grego, tetapi Grego tak menggubrisnya. Ia kemudian menarik diri dan memilih diam. Dan Grego berjalan meninggalkan kedai kopi itu sembari mencoba meredam amarah di dadanya. Sejak malam itu, Grego memutuskan untuk meninggalkan komplotannya dan memilih bekerja di sebuah kedai buku di jantung kota Yogyakarta. Di sana, ia bertemu Er; seorang Katolik, feminis, pembaca yang kritis, dan perumus ide dan gagasan revolusioner. Sejak pertemuan itu pula, Grego dan Er menjalin hubungan asmara yang bengal terhadap tatanan moralitas yang berlaku. Bahkan, pernah sekali waktu di sebuah bar, keduanya memukuli William; seorang Belanda, jangkung, agak tampan, yang memberhalakan Benedict Anderson yang menurut Grego dan Er sebagai pahlawan rasis terhadap tanah-air mereka.

                Pada suatu malam yang dingin. Grego dan Er pergi ke sebuah kedai kopi—sebelumnya keduanya cek-cok menyoal emansipasi perempuan. Raut wajah Er masih belum menerima bantahan Grego. Dan Grego, masih bersikeras pada pendapatnya.

                “Er, jika saja pemikiran Shiva tentang eko-fem itu kau hatamkan di komplotanmu dan kemudian menghasilkan rumusan-rumusan emansipasi, aku akan memihak kepadamu, namun sayangnya, kalian masih terjebak di wacana simbolis; perempuan bebas merokok, perempuan bebas berpakaian, dan segala macam tetek-bengeknya itu. Cobalah kau lihat perempuan-perempuan di kampung-kampung, seperti di Nduga baru-baru ini misalnya. Ndak mungkinlah mereka memperdebatkan soal merokok dan berpakaian, itu bukan masalah utama mereka. Masalah utama mereka adalah penghisapan, penghancuran alam, dan penghilangan ha katas hidup dan tanah,” ucap Grego sembari menyulut rokok.

                Mendengar pendapat Grego, Er menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia berkata, “Grego, aku meyakini revolusi bersenjata akan terjadi ketika kaum intelektual memiliki keberpihakan yang jelas; rakyat tertindas. Dan aku pun percaya—terserah padamu—kalau aku dan komplotanku memulai ini semua dari kota. Kau tahu berapa jumlah korban perkosaan? Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Siapa yang akan “mau” menerima mereka kembali seperti sediakala?”

                Grego terdiam.

                “Kalau kau bersikeras,” lanjut Er, “maaf, itu sama saja kau mengharuskan kami untuk sesuai dengan caramu, jalanmu, dan apalah itu. Kau egois. Dan segala yang egois, jujur saja, aku sangat tidak menyukainya. Dan, satu hal lagi Grego, kami memulai ini semua tidaklah muda. Yang kami hadapi tak hanya stigma, tetapi juga kebijakan negara.”

                Grego dan Er sama terdiam.

                Grego mengulang kembali pernyataannya, hingga Er naik pitam. Er kemudian memecahkan gelas kopi itu dan menghantamkannya ke wajah Grego, namun ia menahannya dengan telapak tangannya. Dan, gelas itu menancap di telapak tangannya.

                “Oh, Grego!” Er berkata perlahan.

***

                Kamis sore, hujan turun serta angin badai. Tukang-tukang becak di sepanjang Jl. Malioboro berkali-kali membetulkan atap becak mereka. Pun orang-orang Kulon Progo yang masih bertahan di rumah terakhir mereka. Sementara Grego dan Er, baru saja menyelesaikan birahi mereka di ruangan yang penuh dengan buku-buku. Tiba-tiba, terdengar seseorang mengetuk pintu kontrakan itu. Grego bangkit dari tilam dan bergegas menuju pintu.

                “Kau rupanya,” ucap Grego.

                Jobing semringah. Dan tak berapa lama, Er keluar.

                “Kudengar kau akan menerbitkan puisi-puisimu, Bing. Benarkah?” Tanya Er.

                “Ya, Er. Kupikir ini saatnya.”

                “Itu bagus.”

                Mereka bertiga pun menceracau tentang banyak hal; sastra, seni, dan kehancuran Lekra. Ketika hujan mulai reda, dua orang lelaki berperangai preman mendobrak pintu kontrakan itu. Mereka bertiga pun terkejut dan bangkit dari kursi. Tanpa banyak omong dua orang lelaki itu menyergap Grego dan Jobing dan menghantam dada keduanya dengan bayonet. Grego dan Jobing pun terjelapak di lantai. Dan makin leluasalah dua orang lelaki itu. Namun, Er yang menyaksikan kejadian itu tak diam diri. Iapun mengambil dua botol anggur di atas lemari dan menghantamkannya ke kepala dua orang lelaki itu. Keributan pun semakin memanas ketika salah seorang lelaki menempeleng Er hingga ia terkapar di lantai.

                Seorang lelaki tua yang kebetulan melintas di halaman kontrakan itu masuk ke dalam dan mencoba melerai keributan itu. Akan tetapi, naas, lelaki tua itu malah ikut diamuk dua orang lelaki itu, hingga ia meregang nyawa, mati. Er pun keluar rumah mencari pertolongan. Dan tak lama kemudian, keributan itu berhasil dihantikan warga. Dua orang lelaki itu diikat warga, Grego dan Jobing dibawa ke beranda kemudian diberi air gula. Dua orang lelaki itu kemudian ditanyai warga siapa penyuruh mereka dan apa sebabnya. Rupanya dua orang lelaki itu merupakan seorang Intel dan anggota ormas pro-pancasila yang mendapat kabar dari beberapa orang intelektual yang mengaku intelektual post-mo, bahwasanya Grego, Jobing, dan Er akan menyebar paham komunisme dan akan melakukan makar. Mendengar penjelasan itu, sontak segerombol warga itu dengan kesetanan menghantam Grego, Jobing, dan Er hingga meregang nyawa, mati, seperti seorang lelaki tua yang bijak.[]

Yogyakarta, April 2019.

Tinggalkan komentar