Bir dan Bayang-Bayang Hantu Merah

oleh Muhammad Yasir

“Dalam kehidupan sekarang ini, orang kebanyakan tidak lagi takut pada kuasa Tuhan yang mereka yakini dan semesta di mana mereka hidup sekian lama. Mereka lebih takut kepada kuasa hukum, undang-undang, polisi, militer, buku-buku, dan ucapan pejabat yang memuakkan. Ada pun di antara orang kebanyakan itu yang berani mengambil sikap menentang akan mati lebih dulu atau dipenjara selama bertahun. Namun, orang kebanyakan yang berani mengambil sikap demikian patut dihargai—bukan maksudku menyamakan mereka dengan barang dagangan di pasar maling atau daging di pasar yang kumuh, ketimbang orang kebanyakan yang memilih merawat ketakutan atas prodak atau lembaga negara yang ganas itu di dalam dirinya. Bagiku, takut itu diperlukan untuk mengukur kekuatan kita ketika berada dalam situasi yang kacau seperti sekarang ini tapi tak lantas ketakutan itu dijadikan laku. Itu sama saja kau… maaf. Yang mesti kau ingat baik-baik ialah bahwa kemanusiaan tidak ada di sini, di negeri ini, kau mesti menentukan sikapmu.”

Lelaki tua itu menghentikan perkataannya. Dia mengambil sebatang rokok, menyulutnya, kemudian menenggak bir di atas meja di berandanya. Setelah itu dia tertawa kencang. Seorang anak muda agak jelek yang duduk di sebelahnya itu pun mengerutkan keningnya sembari berkata dalam hatinya: “Lelaki tua yang aneh!” Dia kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Untuk kali kedua lelaki tua itu tertawa lagi sembari memukul-mukul meja. Anak muda yang penasaran itu pun memberanikan dirinya untuk bertanya.

“Apa yang kau tertawakan, Pak Tua?”

Lelaki tua itu tak menggubris pertanyaan anak muda itu. Dia terus tertawa sembari memukul-mukul meja. Anak muda itu pun mengalih pandang matanya ke jalan di depan rumah lelaki tua itu. Ada seorang polisi berdiri sembari memegang telepon genggamnya di sana. Anak muda itu tak merasa ada yang aneh dengan polisi itu. Dia bahkan berpikir kalau akan ada karnaval atau rombongan anggota administrator negara yang akan melintas di jalan itu. Dan, lelaki tua itu tiba-tiba diam, matanya memerah, dan membuat anak muda itu agak takut, kemudian dia tertawa lagi.

“Ada apa denganmu, Pak Tua?”

Lelaki tua itu berhenti terawa. Dia menatap anak muda itu dan berkata, “Lihatlah polisi di sana itu, Anak Muda! Kau tahu berapa jumlah upah yang akan dia dapatkan setelah berdiri di jalan itu? Aku menduga tidak lebih dari seratus ribu rupiah. Ha-ha-ha… alangkah menyedihkan, ‘kan Anak Muda? Tapi kupikir mereka pantas mendapatkan upah seratus ribu itu karena apa pula yang dia jaga di jalan sana. Ini tanah ajaib. Meskipun, negeri sedang kacau-balau, kami masih bisa minum bir. Ha-ha-ha…”

Anak muda yang semakin terheran itu pun mencoba mengungkapkan keheranannya, “Pak Tua… kau seorang yang aneh. Bagiku, tidak ada yang lucu dengan polisi yang berdiri di sana itu. dia menjalankan tugasnya sebagai pengayom masyarakat dan penjaga keamanan. Bapakku seorang pensiunan polisi yang setahun belakangan baru saja pulang dari pulau… e, aku lupa tepatnya. Dia bercerita padaku bahwasanya menjadi seorang polisi tidak semudah yang dibayangkan orang kebanyakan. Hal pertama yang harus mereka lalui ialah meninggalkan keluarganya dan siap menyerahkan jiwa-raganya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Kupikir sama dengan polisi yang berjaga di sana itu.”

Lelaki tua itu memandang anak muda itu sembari semringah. Kemudian berkata, “Apa aku bilang polisi tidak berguna, ‘ha? Bahkan aku merasa kasihan kepada mereka; dibayar sangat murah, dan… ah, bagaiman nasib anak muda se-generasimu ini kalau cara berpikir dan memandang sesuatu begitu saja kau menggunakan perasaan ketimbang akal sehat.”

Mendengar perkataan lelaki tua itu, anak muda itu tak berkata apa-apa lagi. Dia tertampar dan malu.

“Anak Muda, akan kuceritakan kepadamu tentang peristiwa yang pernah kualami ketika aku masih bekerja di Kantor Pos sebagai pengantar barang dengar dan dengarkan. Begini:

“…3 September 2014, Kantor Pos sibuk bukan main dan aku telah berumur enam puluh lima tahun. Bagaimana pun, aku mesti terus bekerja agar bisa makan dan membeli bir, dan supaya tulang dan otot-ototku tetap terjaga. Tidak seperti masa tua pejabat yang berakhir di panti jompo atau penjara. Seperti biasa, aku akan mengantar paket-paket, namun kali ini paket-paket itu menumpuk. Aku masih ingat dengan baik, aku menyelesaikan pekerjaanku pukul sembilan malam. Seperti biasa, aku akan singgah ke sebuah bar untuk membeli beberapa botol bir. Malam itu aku membeli tiga botol bir, empat sebenarnya, aku telah menenggak sebeotol yang lain di sana. Dan aku pulang.

“Sesampainya di rumah aku duduk di kursi beranda, membuka bir selanjutnya, menyulut rokok, kemudian membaca koran hari ini; tak ada berita lain selain korupsi. Tak terasa, diam-diam waktu menjelang tengah malam. Tapi kuakui, malam itu bulan bersinar indah dan mataku yang mulai payah dapat melihat dedaunan akasia berguguran ke jalan. Dan, ah… aku pernah menghabiskan semalaman duduk di beranda ini dengan mendiang Istriku. Tatkala aku melangkah masuk ke dalam rumah, terdengar sirene patroli dari kejauhan. Aku mengurungkan niatku, kemudian membalikkan badan. Mobil itu berhenti di jalan di hadapan rumahku. Sirene itu dimatikan dan keluarlah dua orang polisi, seorang militer, dan dua anak muda. Dengan perangai sombong dua orang polisi dan seorang militer itu menyuruhku memberi waktu untuk mendengarkan mereka bicara. Aku mengiyakan.

“… “Apa benar dengan Pak Tidar?” Tanya seorang militer itu. “Ya,” jawabku. “Kami datang ke mari untuk mengklarifikasi ucapan dua anak muda ini,” lanjutnya. “Tentang apa itu?” Tanyaku. Aku ingat salah seorang anak muda itu. Dia orang terakhir yang menandatangani surat tanda terima paket. “Kedua anak muda ini kami tahan dengan tuduhan menyimpan buku-buku yang mengandung paham komunisme. Dan benarkah anda yang mengantar buku-buku itu?” Tanya militer itu lagi dengan nada agak tinggi. “Ya. Apa masalahnya?” Militer itu menatap dua orang polisi yang memegang dua anak muda itu sembari semringah. “Anda pura-pura bodoh dan tidak tahu, Pak Tua? Komunisme itu dilarang di negeri ini?” Jelas militer itu dengan nada mengejek. “Ya. Tapi kenapa dilarang?” Tanyaku. Mereka terdiam. Aku berkata lagi, “Anda tahu apa itu komunisme?” Polisi kedua menjawab dengan bodohnya, “Komunisme itu paham pembunuh, makar, dan terlarang. Maka dari itu, apa pun yang menyangkut tantang itu, mesti dibasmi demi keamanan NKRI!” Aku melangkah mendekati polisi muda itu, kemudian berkata, “Orang macam kau banyak di negeri ini; orang-orang sok tahu dan bodoh! Komunisme itu paham yang menghancurkan kepemilikan pribadi, terutama tanah, anti-penindasan, dan meninggikan kemanusiaan, sementara komunis itu orang yang menganut paham komunisme yang otomatis anggota partai komunis. Dan, bukankah Soeharto telah menghancurkan Partai Komunis Indonesia, bahkan simpatisannya? Lalu apa yang kalian takutkan? Kebangkitan kembalinya? Bodoh! Di negeri ini orang bicara saja pun dilarang, apalagi membangkitkan kembali?! Dan apakah kalian telah membaca buku yang kalian sita itu sebelumnya, sehingga kalian melakukan klaim dan menahan dua anak muda itu?” Mereka bertiga terdiam, tak berkata-kata lagi. “Kalau kalian benar telah membacanya, sekarang kuingin kalian menyampaikan subtansi buku itu di sini, sekarang ini, akan kusiapkan segala kebutuhannya.

“Mereka seperti kehabisan kata-kata. Aku berjalan ke militer itu dan berkata, “Kau, harusnya kau berperang di perbatasan sana. Harusnya kau sadar fungsimu sebagai militer. Bukan malah melakukan kebodohan yang sama seperti yang dilakukan administrator negara ini. Sekarang, pergi kalian, dan tinggalkan dua anak muda ini!” Tapi mereka tak menggubris permintaanku. Mereka melangkah kembali ke mobil. Aku berkata, “Baiklah. Aku telah mencatat nama kalian bertiga, tunggu aja berita di koran besok pagi dan kalian akan menanggung malu seumur hidup kalian!” Mendengar itu, mereka berhenti. Militer itu kembali, kemudian berkata, “Apakah itu ancaman, Pak Tua?” Aku melangkah ke arahnya dan mendekatkan wajahku ke wajahnya dan berkata, “Itu ancaman! Aku ini pensiunan Pangdam, kau tahu?! Aku akan menyeret kau ke pengadilan militer dengan tuduhan kau menggangguku dan mengancamku. Adil?” Militer itu terdiam dan wajahnya pucat seketika. Dia berjalan kembali ke dua polisi yang masih memegang dua anak muda itu. Kulihat mereka melepaskannya dan menyuruh dua anak muda itu ke berandaku, kemudian mereka bertiga berlalu pergi. Dua anak muda itu berterimakasih padaku, tapi aku berkata, “Tidak, perlu anak muda serampangan. Belikan saja aku beberapa botol bir dan kalian pulanglah.

“Mereka memenuhi permintaanku, kemudian pulang. Dan setelah itu aku tertawa terbahak-bahak. Dua orang polisi dan seorang militer itu kena tipuku. Oh, malam itu jadi panjang karena bir-bir itu, Anak Muda.” Lelaki tua itu tertawa sembari memukul-mukul meja, pun anak muda itu.

2019, Yogyakarta.

Tinggalkan komentar