Astaga!

oleh Reynold Patabuga

Perempuan dengan gundukan di perutnya itu tergelepar di emperan tokoku, tampak gundukan itu berusia enam bulan – tentu itu hanya terkaanku belaka. Dan tampak tatapan sepasang matanya yang payah, murung dan sayu, nyaris tak ada lagi harapan pada siapa yang telah berbuat lalim padanya – maksudku, ayah dari anak yang dikandungnya. Pikiranku semakin liar saja; barangkali ia juga melarikan diri dari rumah, sehingga keadaannya terlihat sangat menyengit hatiku.

Langit belum lagi begitu cerah dan udara basah masih membalut hari yang mulai sibuk dan pada hakikat keadaan demikian, siapa pun akan mengalami kedinginan, sepertiku. Dan si perempuan dengan gundukan di perutnya itu sejak setengah jam lalu tak sadarkan diri.

Melihat si perempuan, jujur saja keadaannya mengingatkanku pada saudara perempuanku. Pada suatu waktu yang lalu – aku lupa persisnya kapan – ketika keadaan keluarga kami belum demikian adanya. Ketika itu kehidupan yang kami jalani begitu kejam, hingga terasa menghajar setiap sendi dan sudut pikiran bahkan yang mengerikan hingga mencengkram tarikan nafas kami.

“O, Yang Maha… tunjukkan kepada kami kemuliaan namaMu!” igau saudara perempuanku pada suatu malam yang dingin dan bergemuruh. Aku bergumam dalam hati: “Jikalau begini terus menerus, kurasa kaca jendela itu tak lagi mampu menampung embun beku yang turun menjelang subuh.”

“Ah! Nona sudah siuman rupanya. Saya agak khawatir kalau kalau hal buruk menimpamu. Saya kira, saya merasakan apa yang nona rasakan meskipun bertahun sudah itu. Namun, itu selalu datang dan selalu datang seperti hujan yang turun ke bumi.” kataku menenangkan diri si perempuan, dan ya… diriku sendiri.

“Anda seorang dermawan rupanya. Tapi berhati-hatilah. Bisa saja saya rubah yang sedang kelaparan. Dan, maaf kalau lancang, anda siapa dan kenapa anda membawa saya ke sini?” katanya dengan nada dingin dan waspada.

“Maaf, nona. Bagaimana mungkin saya tega melihat seorang dari kaum ibu saya tergeletak di emperan toko milik saya. Sebagai seorang manusia, bukan rubah yang sedang kelaparan, dan saya memiliki tempat dan sedikit makanan, apa yang salah ketika saya membawa anda ke sini?”

“Begini, nona…” kataku melanjutkan, “kepada bumi pun matahari mau berbagi cahayanya dan itu jutaan tahun lamanya. Apalagi hanya sekedar tempat dan makanan? Hm… saya pun takkan merugi kiranya, bukan begitu?”

Ia pun menjadi agak tenang. Namun, wajahnya seperti sediakala; tanpa harapan, tanpa apa-apa, dan ada kewaspadaan di sana, semacam ada kebingungan untuknya melanjutkan perjalanan setelah dari sini.

“Nona…” aku memberanikan diri berucap, “bagaimana nona bisa tergelepar di emperan toko saya? Apa yang telah terjadi dan siapa yang berbuat kekejian ini kepada nona? Dan ke mana gerangan tujuan nona?”

Si perempuan itu bergeming. Tatapannya melompat-lompat dengan gesit dari satu objek ke objek lain di luar jendela. Dan kemudian ia menatapku, lalu berkata: “Siapa pun yang melakukan ini pada saya, jelas ia seorang kriminil. Dan anda sedang mengetes saya atau? Tuan… saya ini hanya sekadar daun jarak yang kering dan menjelang gugur ke bumi, tetapi angin belum puas bermain-main dengan saya. Maka dari itu, ke mana pun saya pergi itu adalah paksaan pada saya. Dan kalau kalau masih ada tempat yang bersih untuk perempuan sehina saya.”

Kami sama terdiam. Tapi mataku tak bisa melompat dari sepasang tangannya yang kurus dan kaku yang memangku dagunya yang agak sedikit panjang dan berbelah – sungguh, diam-diam kuamati sekujur wajahnya, lahirlah kelelakianku; ia begitu cantik ternyata. Tanpa omong perlahan-lahan aku melangkah ke dapur, mengambil sepiring nasi lengkap dan segelas susu putih hangat tanpa gula modern.

Tak lama kemudian terdengar seseorang membunyikan lonceng yang tergantung di atas pintu masuk.

“Siapa di sana?”

“Kismin! Beli sesuatu!”

“Oh… kau Kismin. Sebentar!”

Aku bergegas ke luar sembari sesekali menoleh ke belakang, memastikan si perempuan masih di sana.

“Mas, ini berapa?” tanya si Kismin – Kismin ini seorang anak bengal yang tinggal di bantaran kali yang membentang sepajang seribu kaki ke Barat dan ibunya seorang janda yang, ah… bagaimana aku mendeskripsikan kehidupan perempuan semenyedihkan dia.

“Oh, yaa, ini dua puluh”

“Yang seperti ini ada nggak di sini..”

“Apa ini dijual satu set?”

“Bisa nggak dibeli per satuan?”

Tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh atau sengaja dijatuhkan dari dalam. Sontak, aku kaget dan bergegas menghampiri. Sesampainya di sana kudapati diriku tengah berada persis di depan sofa tadi. Begitu lekat ingatanku di situ, sebelumnya si perempuan dengan gundukan di perutnya duduk di atas sofa. Ke mana dia?

Dan kurasakan sepasang lututku bergetar. Keringat mengucur dari keningku. Astaga!

2019, Yogyakarta.

Tentang Penulis:

Reynold Patabuga merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Saat ini mulai aktif menulis cerita pendek.

l

Tinggalkan komentar