Peluru dan Maut yang Berdansa

oleh Muhammad Yasir

Ada suatu waktu di mana negeri ini senyap dan was-was seperti pertunjukan teater di sebuah panggung yang tanpa penonton atau seperti sungai-sungai di malam hari yang menyenyakan siapa saja yang tidur di tepiannya. Bulan di langit tinggi tak terjangkau seperti corong timah panas yang tersentuh sinar lampu pengawasan, bercahaya seadaanya. Dan diam-diam, dari kejauhan, terdengar suara jangkrik mengerik sekali dua yang berseteru dengan gemuruh angin malam yang dingin; padanya terselip kengerian maut yang berdansa. Namun ada suatu tempat yang jauh di negeri ini di mana orang-orang yang hidup di sana telah kehabisan waktu untuk tidur barang sejam pun.

Mereka, terutama kaum mama dan anak-anak hidup dalam kegetiran dan ketakutan. Kadang-kadang mereka tak tidur nyaris seminggu penuh! Kira-kira, itulah penyebab foto-foto mereka yang tertera pada halaman utama surat kabar-surat kabar nasional tampak kuning, kurus, serta tatapan mereka kosong dan sarat dendam yang mesti segera dibalaskan.

Ada sebuah jalan setapak alias kuburan massal membentang 83,4 kilometer yang menghubungkan antara Nduga dan Wamena. Pepohonan, bunga-bunga, dan semak belukar yang tumbuh subur di kiri-kanan jalan setapak itu merupakan sebuah memori besar yang menyimpan peristiwa demi peristiwa yang sengaja tak diungkap. Dan musim hujan perlahan-lahan membuat orang-orang kebanyakan yang jauh melupakannya begitu saja.

Bahkan yang lebih mengerikan, Tuhan pun perlahan-lahan melupakan orang-orang kebanyakan, karena mereka benar-benar dibuat sedemikian rendah dan hina harkat-martabatnya sebagai manusia.

“Cobalah pejamkan matamu,” ucap seorang mama sembari mengelus seorang anak perempuan di pangkuaannya. “Perjalanan kita masih jauh dan di antara kita mesti ada yang berjaga, sebab tiada seorang pun tahu kalau-kalau ada peluru menyelinap dalam rinai hujan menghabisi kita malam ini juga. Dan semoga mimpi yang baik-baik hadir dalam tidurmu.”

Namun si anak tak menggubris ucapan mamanya. Ia bangkit kemudian memeluk mamanya dari belakang kemudian berkata: “Ada apa di ujung jalan setapak ini, ma?” Dan mamanya terdiam agak lama.

“Oh ya… pamanmu belum cerita?” mamanya memastikan sembari mengedipkan matanya pada seorang lelaki yang bermenung seperti sedang berpikir keras dan menelan duka di dadanya. “Di ujung jalan ini ada sebuah kolam berair merah yang luas. Di sana, hidup ikan-ikan yang indah dan lincah. Bukankah kau hendak memelihara satu di antara mereka? Ya… bukan begitu?”

Si anak perempuan semringah kemudian mencium mamanya.

“Sekarang tidurlah di pangkuanku! Perjalanan masih jauh.”

Si anak perempuan segera berbaring di pangkuan mamanya seperti semula kemudian terlelap bersama kesunyian dan ketakutan yang mencengkram jiwa mamanya dan sebelas orang lainnya dalam kelompok perlarian itu. Dan rinai gerimis yang turun membasahi bumi sesekali piasnya menyentuh kaki-kaki mereka yang penuh luka-luka kecil-busuk dan menimbulkan rasa perih yang membuat mereka menarik diri agak ke dalam tebing.

Namun mereka mesti menahan rasa sakit dari luka-luka itu, kantuk mata yang berat, dan dingin angin malam yang menjanjikan maut. Sungguh pun, para bajingan yang bersenjata itu diciptakan dan disebarkan hanya untuk memburu dan membunuh mereka. Tak terhitung lagi berapa orang, lelaki-perempuan, anak-anak-tua-muda yang telah diburu dan dibunuh seperti layaknya seekor rusa atau babi tanpa dimakamkan!

Mungkin menjelang pukul dua subuh, seorang lelaki yang wajahnya samar-samar tampak dalam cahaya api mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah surat yang begini bunyinya bila dibacakan:

“Saudaraku sekalian yang kini berada dalam pelarian, saya berikan hormat sehormat-hormatnya kepada keberanian kalian menjalani keadaan yang semakin mengerikan ini. Pun tak pelak saya ucapkan maaf semaaf-maafnya atas kematian anak-saudara saudara sekalian yang dibunuh dengan sadis dan bengis oleh anak buah raksasa barnama Indonesia dan Pancasila yang tak lain merupakan musuh utama kita!

“Saudaraku sekalian, maanfaatkanlah makanan yang disediakan hutan leluhur kita untuk menggajal lapar di perut saudaraku sekalian dan anak-anak kita. Jangan sampai kalian gugur dalam keadaan kelaparan, sebab itu akan menjadi suatu hal yang memalukan. Mari kita buktikan bahwa bangsa kita bukan bangsa yang malas, kita bukan bangsa yang mesti menjadi bangsa lainnya yang dibentuk menyesuaikan kebutuhan kapitalisme neolib, dan kita mesti menyelesaikan perang ini.

“Saudaraku sekalian, jika kalian bermenung dan dibayang-bayangi ketakutan yang teramat sangat, mendongaklah ke langit dan tataplah bintang kejora-bintang kejora yang berbinar di sana. Mereka memihak kita. Mereka mendoakan kita hal yang baik-baik. Lupakan hal-hal mengenai maut sekarang. Ingat baik-baik ini: walaupun Indonesia dan Pancasila mengirimkan ribuan bahkan jutaan bajingan untuk memburu dan membunuh kita, jangan pernah gentar. Justru mereka menyerahkan diri mereka yang sia-sia di tanah air kita! Dan jangan pernah mengaku jika tertangkap, sebab pengkhianatan kepada tanah air kita takkan menyelamatkan kehidupan saudara sekalian esok dan selamanya. Ingat-ingatlah!”

Si lelaki itu berhenti membaca dan tak berkata suatu apa, pun mereka yang mendengarkan. Malam itu, seperti malam-malam biasanya, jangkrik mengerik yang berseteru dengan gemuruh angin malam yang di dalamnya terselip peluru dan maut berdansa sejengkal di atas kepala mereka.

Keesokan hari, hari ke delapan tepatnya, mereka melanjutkan perlarian. Namun, seorang mama—umurnya sukar diperkirakan—tergelepar di jalan setapak. Rupanya, tanpa sepengetahuan yang lainnya ia diserang penyakit kuning sejak empat hari lalu. Dengan sarat kekhawatiran, mereka bergegas memakamkan si perempuan. Dan tak seorang pun bicara dalam upacara pemakaman itu; mereka hanya menangis, pun tanpa suara.

“Ke mana dia pergi, ma?” tanya si anak yang sama. “Kenapa dia ditimbun dengan tanah?”

Mamanya terdiam agak lama sembari menyeka air matanya.

“Dia pergi ke langit dan ditimbun dengan tanah adalah sebaik-baiknya menghormati kepergiannya.”

Si anak mendongak ke langit, kemudian berkata: “Yang mana dia, ma?”

“Oh… dia akan hadir ketika malam tiba, nak,” jawab si mama sembari terbata-bata.

Hm. Aku mau seperti dia, ma. Ke langit! He-he…”

“Sebentar lagi petang akan datang. Mari bergegas!” kata si kepala perlarian.

Perlarian pun dilanjutkan. Sepuluh kaki di hadapan, anak-anak bermain-main. Tak sedikit pun tersirat di wajah mereka suatu ketakutan; bermain-main itulah kebebasan terakhir yang mereka miliki. Namun, seratus kaki kemudian delapan orang bajingan keluar dari balik pepohonan. Salah seorang bajingan—tak lain pimpinan bajingan itu—menyuruh kelompok perlarian itu berhenti dan memanggil si kepala perlarian. Si kepala perlarian, tanpa perlawanan, berjalan menghampiri si pimpinan bajingan-bajingan itu. Tampak mereka bercakap-cakap dengan gerak-gerik yang tegang. Dan, tiba-tiba, si pimpinan bajingan-bajingan itu memukul dan menendang si kepala perlarian hingga ia terkapar di tanah sembari mengerang kesakitan.

Sontak kaum mama berlari menghampirinya. Seorang mama—mama si anak yang sama—bangkit dan menghampiri si pimpinan bajingan-bajingan itu, kemudian berkata: “Manusia seperti apa kalian ini?! Tak sedikit pun terbesit kemanusiaan di diri kalian!” namun, tanpa omong si pimpinan bajingan-bajingan itu memukul si mama dengan ganggang senapannya dan seorang di antara bajingan itu membedilnya persis di kepala. Darah memuncrat ke tanah dan wajah si pimpinan bajingan-bajingan itu.

“Bangsat! Kenapa kau membedilnya?!”

Tanpa omong, bajingan-bajingan itu berlalu pergi. Dan seperti tadi, mereka memakamkan si mama tanpa bicara suatu apa; mereka hanya menangis, pun tanpa suara.

“Apakah mama akan juga menjadi bintang di langit, kepala?” tanya si anak pada si kepala perlarian.

Si kepala pelarian tak menjawab. Ia hanya menangis, pun tanpa suara.

Si anak mengulangi pertanyaannya, dan dengan berat hati si kepala perlarian menjawab: “Ya… nak. Mamamu akan menjadi bintang, Bintang Kejora yang mulia!”

“Oh. Apakah ia muncul malam ini, kepala?”

Si kepala perlarian terdiam.

Dan malam hari yang ditunggu-tunggu si anak pun tiba. Ia duduk di dekat api unggun bersama si kepala perlarian dan seorang anak lainnya. Ia tak sabar menunggu kehadiran si mama dan saudara mereka yang lainnya.

“Kepal? Kepala? Lihat! Mereka mulai muncul. Yang mana mamaku dan saudara kita yang lain itu?”

Dengan mata berkaca-kaca si kepala perlarian berkata sembari menunjuk ke arah dua bintang yang bersinar terang dan berdekatan. Ia berkata: “Itu! Yang dua itu! Lihatlah betapa indah mereka! Merekalah Bintang Kejora, nak. Bintang Kejora! Suatu saat ia akan turun ke bumi, mungkin setelah kita pun menjadi bintang kejora seperti mamamu dan saudara kita yang lainnya!”

Si anak tersenyum.

“Aku ingin menjadi Bintang Kejora juga, kepala, seperti mama. Bagaimana caranya?”

Hanya terdengar suara jengkrik mengerik yang berseteru dengan gemuruh angin malam yang di dalamnya terselip peluru dan maut yang berdansa.

2019, Yogyakarta.

Tinggalkan komentar