Suatu Malam di Musim Hujan

oleh Muhammad Yasir

​Pada akhir tahun ini musim hujan tiba seperti gema lonceng yang mengisyaratkan kesedihan dan kekhawatiran yang teramat. Langit kadang seperti padang yang gersang, panas, dan membakar, kadang pula seperti sungai yang rusak dan kehilangan nyanyiannya, seratus tahun lalu. Burung-burung gereja yang acap kali bertengger di seutas kabel listrik tiada tampak. Orang-orang kebanyakan semakin was-was: walaupun musim hujan, tanah tetap saja retak seperti ribuan potong roti yang tak layak dimakan. Pun bersamanya persoalan demi persoalan datang seperti senar gitar bernada sumbang. Tak ada penyelesaian pasti. Dan, gemuruh angin seakan mendakan suatu bencana akan segera melanda kehidupan.

​Di sebuah kota kecil yang selalu sibuk, pepohonan cemara dan akasia di pembatas jalan kiri-kanan disulap menjadi pepohonan plastik yang di batang dan dahan-dahannya dililit lampu merah, kuning, dan hijau sekadar untuk membuat jalan raya tampak indah ketika malam hari. Dan betul, tatkala malam hari tiba kota kecil itu tampak indah. Siapa pun yang berkeliaran di kota kecil itu tampak seperti robot canggih yang mengeluarkan cahaya, kecuali orang-orang gembel yang terkapar di emperan hotel atau pasar modern. Bagaimana pun mereka mencoba menikmati keindahan itu, bagaimana pun mereka membiasakan diri dalam kelap-kelip cahaya itu, cacing-cacing hitam tak bermata, tak bertelinga, tak berperasaan tiada henti menuntut gizi atau nutrisi di dalam perut mereka. Jadilah mereka seperti pasir pantai yang hanya mampu menerima terpaan ombak yang membawa segala kesedihan laut, mungkin juga mayat nelayan yang bunuh diri.

​Pada suatu malam yang biasa biasa saja, seorang lelaki miskin berperawakan pendek, kurus tak terurus, dan wajahnya sukar dideskiripsikan duduk seorang diri di sebuah kedai kopi yang selalu ramai di jantung kota. Matanya cekung dan dilingkari warnah biru kehitam-hitaman, tampak kalau si lelaki miskin telah kehilangan waktu tidurnya dan tampak pula ada banyak masalah yang menggerayangi dirinya. Dari tatapan matanya, tampak si lelaki miskin sedang menunggu seseorang. “Sial!” makinya dalam hati. Betapa pun, si lelaki miskin sama sekali tak memiliki semacam penghormatan kepada orang-orang yang datang ke kedai kopi itu. Baginya, mereka yang datang hanyalah ternak-ternak yang hidup hanya untuk dijual dan dipenggal. Mereka tak mempunyai niatan untuk sekadar membicarakan persoalan-persoalan kehidupan apalagi keberanian untuk melakukan pembebasan. Kemudia si lelaki miskin bergumam: “Kalau saja… ya! Akan kuhabisi mereka ini!”

​“Akhirnya… maafkan saudara, pesanan terlalu banyak dan tanganku hanya dua itu pun kurus tampak tak bertenaga!” ucap seorang lelaki berperawakan sama dengan si lelaki miskin tetapi rambutnya ikal seperti orang-orang kebanyakan di tanah airnya. “Kopi yang biasa. Setidaknya ini mampu melegakan perasaan saudara.”

​Si lelaki miskin menyeruput kopi itu kemudian menatap si lelaki berambut ikal. Tatapan kedua lelaki ini sama saja; sayu, sarat kesedihan, dan dendam yang membara dan menuntut penyelesaian. Kemudian si lelaki berambut ikal berkata: “Berapa buih meletus sebelum menjadi gelembung dan terbang ke cakrawala?”

​“Seratus lebih, hitunganku!” jawab si lelaki miskin sembari memperhatikan orang-orang di sekitar mereka.

​Si lelaki berambut ikal membusungkan dadanya, menarik nafas dalam, dan menghembuskannya dengan berat ke udara. Bagaimana pun, si lelaki berambut ikal memiliki persoalan, penyesalan, kekesewaan, kesedihan, dan kesunyiannya sendiri. Dia, si lelaki berambut ikal, datang dari sebuah tanah yang jauh—dan tak perlu dibayangkan berapa jaraknya—dan seperti dirinya yang dijauhi nasib baik. Di sana, di tanah kelahiran si lelaki berambut ikal, harga seorang manusia tak jauh lebih tinggi dari harga kopra, ikan-ikan laut, dan satu kilogram sagu bakal papeda. Dan anak-anak kecil, lelaki-perempuan, tatkala sore menjelang akan berlarian sembari menenteng ikan-ikan kemudian melempar ikan-ikan itu ke dalam kobaran api dari perahu-perahu orangtua mereka yang dibakar percuma, karena sekarang ini menjadi nelayan adalah bunuh diri.

​“Bunuh diri…” kata si lelaki miskin, “merupakan sebuah pengakhiran yang disukai orang-orang. Persoalan-persoalan yang ada, hasrat pembalas dendam, kesunyian dalam diri yang menjadi sedemikian rumit mestinya memercikan revolusi berdarah. Dan untuk memercikkan revolusi berdarah ini, ya tentu saja, takkan bisa tanpa adanya gerilya untuk meradikalkan orang-orang tertindas, termasuk ibu sendiri. Namun, persoalan baru yang perlu dipecahkan ialah bagaimana meyakinkan mereka dan menggambarkan bahwa revolusi berdarah ini benar-benar akan melahirkan suatu kehidupan tanpa penindasan dan penghisapan.”

​ Mendengar ucapan kawannya itu, si lelaki berambut ikal menyulut sebatang rokok kemudian berkata: “Aku merasa—bisa kau bantah—bahwa yang terjadi dalam kehidupan intelektual kita hari ini ialah semakin banyak mereka membaca buku, semakin mereka kehilangan pribadi mereka dan semakin pula mereka gandrung melakukan perdebatan-perdebatan yang hanya melahirkan ketegangan belaka.”

​“Misalnya,” kata si lelaki berambut ikal, “saudara bisa saksikan sendiri orang-orang yang datang ke sini seperti anjing-anjing yang kebelet berak, kemudian pergi meninggalkan kotorannya. Akan tetapi, tak lama kemudian mereka mengunggah sebuah foto buku dan kopi di media sosial mereka dengan keterangan seperti ini: ‘malam ini terlalu dingin untuk diriku yang sendiri’. Padahal, saudara lihat sendiri, bagaimana rakyat dan bangsa kita dibunuh, diperkosa, dan dibunuh lagi seperti jarum jam yang selalu berhenti pada angka-angka yang bisu itu! Tuhan… Mama!”

​Si lelaki miskin dan si lelaki berambut ikal setengah jam terdiam. Sepasang mata mereka memperhatikan lampu lima wattyang menyala payah. Sepasang telinga mereka didengungkan lagu-lagu yang aneh, tanpa makna, tanpa apa-apa yang digandrungi orang-orang zaman baru ini. Kemudian, si lelaki miskin menundukkan kepalanya semacam ada suatu apa yang datang tiba-tiba padanya. Tak lama, ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya berkaca-kaca.

​“Tidakkah aku seorang bajingan, saudara?” tanya si lelaki miskin.

​“Dan… bukankah kita ini semua bajingan, suadara?”

​“Akan mati sebagai apa kita ini? Dan berapa harga kita di dunia ini?”

​“Oh… tentu saja, saudara, kita akan mati sebagai manusia yang terasing dengan kesunyiannya sendiri dan harga kita tak mungkin bisa dinilai dengan mata uang, tetapi jutaan mata yang dipaksa menangis darah!”

​Pada tahun ini musim hujan tiba seperti gema lonceng yang memberitahu bahwa telah terjadi pembunuhan. Sepuluh… empat puluh… seratus… seribu… sepuluh ribu… orang-orang dimatikan di sana-sini tanpa adanya kehadiran keadilan. Seperti pepohonan yang ditebang, seperti bunga-bunga layu yang menari menyambut maut, seperti senar gitar yang dipetik bernada sumbang, satu per satu di antara mereka dilemparkan ke dalam lubang tanpa batu nisan, tanpa nama, tanpa jasa, dan hanya air mata dari sanak-saudara gugur ke dalamnya mengiringi. Tak lama kemudian, si lelaki miskin dan si lelaki berambut ikal mengambil korek dan membakar tangan mereka untuk merasakan sakit dan bahwa keadaan kehidupan di tanah air mereka benar-benar sakit itu nyata.

2019, Yogyakarta.

Tinggalkan komentar